Tradisi Unik, di Desa Ini Perempuan Beranjak Dewasa Bebas Ajak Pria Masuk Kamar
Ada banyak tradisi dan budaya di berbagai negara yang akan membuat masyarakat tercengang. Salah satunya di Kamboja yang merupakan negara Asia Tenggara berbatasan dengan Thailand, Laos, dan Vietnam.
Seperti negara Asia Tenggara lainnya, Kamboja merupakan negara konservatif yang menjunjung nilai-nilai dan norma-norma kesopanan dan moral.
Mengutip melalui vancouverisawesome, Senin (21/6/2021), di sebagian besar negara Kamboja, perempuan harus dilindungi. Masyarakat memandang buruk perempuan yang merokok, mengonsumsi minuman keras, bahkan bekerja.
Tapi di suku Kreung, perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki di mana mereka harus turut bekerja, bercocok tanam, dan menggembala.
Selain itu, suku yang bertempat tinggal di daerah Ratanakiri ini juga memiliki tradisi unik, yaitu gubuk cinta. Mereka akan mencari jodohnya melalui gubuk kecil atau mengajak pria masuk kamar.
Di Kampung Kreung, Ratanakiri, bagi perempuan yang mencapai usia puber atau beranjak dewasa, sang ayah akan membuatkan gubuk dari bambu yang terletak agak jauh dari rumah. Gubuk ini nantinya akan menjadi “kamar” pribadi si anak perempuan di mana dia bisa bebas mengundang teman laki-laki manapun.
Di gubuk ini perempuan memegang kendali atas apa yang terjadi, seperti seks antara dirinya dan teman laki-laki yang diundangnya. Hanya akan terjadi bila dia menghendakinya.
Selain otoritas yang dimiliki perempuan di gubuknya, di suku ini anak laki-laki juga diajari untuk menghormati dan menuruti para perempuan. Terutama bila mereka menjadi tamu di gubuk cinta, agar tak mempermalukan keluarga.
Keluarga dari anak perempuan tanpa takut memberikan kepercayaan penuh kepada putrinya. Mereka yakin putrinya tahu siapa pasangan yang dia inginkan, dan salah satu jalan dalam menemukan pasangan adalah mencoba semua laki-laki yang tersedia.
Di suku ini, perempuan boleh memiliki banyak pasangan selagi memilah siapa di antara mereka yang akan dinikahi. Tidak ada rebutan pacar dan tidak ada saling olok dengan kata “pelacur” atau “pelakor”. Bahkan, kasus perceraian, kasus kekerasan seksual, dan kasus pemerkosaan berjumlah nol.
Suku Kreung menjunjung tinggi nilai-nilai feminisme tanpa perlu mendengar teori-teori feminisme. Para tetua adat percaya, perempuan sebagai ibu dari penerus suku, harus diperbolehkan memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri agar tidak merasa terpaksa dalam memiliki pasangan dan anak sehingga bisa merawat keluarganya dengan senang hati.