Ikhlas 8 Bebek Jualannya Dibayar Pakai Uang Palsu, Mbah Mardi Diberi Rp 2 Juta oleh Seorang Pejabat
KULON PROGO, KOMPAS.com – Jari dan tangan Mardi Wiyono yang kekar berkeriput terus gemetar, seperti tremor.
Mardi kakek 81 tahun asal Pedukuhan III Pringinan, Kalurahan Tirtorahayu, Kapanewon Galur, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan tangannya yang tak henti bergetar, ia membuka amplop isi uang, mengambilnya, tapi tidak menghitung karena makin hebatnya tangan bergetar.
“Tanganku sudah tidak bisa (normal),” kata Mardi di rumahnya, Sabtu (14/8/2021). Ia menunjukkan tangannya yang terus menerus gemetar seperti orang dengan parkinson.
Sadiyem (70), istrinya yang memakai kebaya, duduk di sebelah Mardi di teras rumah. Sadiyem yang kemudian menghitung uang itu. Total uang dalam amplop itu Rp 2.000.000.
Mbah Mardi, begitu warga menyebutnya. Menerima uang dari orang yang tidak dikenalnya. Ia hanya diberitahu kalau uang itu berasal dari orang yang tersentuh pada Mardi yang merupakan korban penipuan uang palsu.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
“Saya dikasih bantuan karena kena tipu Rp 400.000 waktu menjual itik. Saya matur nuwun sebesar-besarnya. Saya akan memanfaatkan uang ini untuk kehidupan (keluarga) saya,” kata Mardi.
Mbah Mardi korban peredaran uang palsu saat menjual itik di Pasar Kliwon di Kalurahan Kranggan, Kapanewon Galur pada 29 April 2021. Pelaku menggunakan uang palsu untuk membeli delapan ekor bebek senilai Rp 400.000 milik Mbah Mardi.
Pelaku memanfaatkan kelemahan Mbah Mardi yang sudah tua, sulit membaca dan tangan yang tremor.
Peristiwa tersebut sebenarnya sudah berselang lama namun belum ada titik terang sampai sekarang. Mardi belum lupa pada peristiwa itu. Ia masih menyimpan rapi selembar kertas laporan kasusnya pada polisi.
Ia pun mengaku tidak merisaukannya lagi
. “Saya tidak susah karena uang itu. Bebek (milik) ku masih banyak. Besok-besok Gusti Allah yang mengganti,” katanya kemudian.
Mardi dulunya pemain ketoprak. Ia mengaku bangga pernah menjadi seniman lokal di masa lalu. Secara fisik ia masih tegak. Ia tunjukkan bagaimana masih mampu mengayuh sepeda onthel. Genggamannya pun kencang.
Tubuhnya tampak kuat meski berjalan terpincang karena pinggul kirinya pernah nyaris patah akibat ditabrak pemuda mabuk pada 2011. Pemuda yang menabrak mengalami gegar otak. Pemuda itu juga berasal dari keluarga miskin. Mardi tidak memperkarakannya.
Ia berobat mandiri tanpa operasi karena minim biaya.
“Cuma minta suntik saja,” kata Mardi. Jadilah sekarang Mardi jalan terpincang.
Mardi lansia dengan 10 cucu dan lima cicit. Sebagian besar anak dan cucunya hidup mandiri.
Mardi hanya hidup bersama Sadiyem, ditemani satu anaknya yang bungsu, dan seorang cucu. Mereka menempati rumah berdinding kusam dengan atap limasan.
Mardi menceritakan, pekerjaan sehari-harinya terkait dengan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di pekarangan rumah luas 300 meter persegi.
Di sana, tumbuh tiga pohon kelapa yang berbuah lebat, juga beberapa pohon pisang.
Mardi membangun kandang untuk memelihara enam kambing. Sementara, bersama anak bungsunya mereka memelihara 100 bebek campur itik dan empat angsa.
Mardi tiap hari menggembala kambing ke sawah atau kadang ia pergi mencari rumput untuk pakan kambing. Selain itu, ia juga menggiring bebek untuk mencari makan. Pergi pagi, pulang sore.
Mereka mengandalkan hidup dari bantuan pemerintah dan apa yang ada di kebun sendiri. Mulai dari telur bebek untuk dijual setiap hari.
Begitu pula dengan kambing yang anaknya bisa dijual. Telur bebek dihargai Rp 1.500 per butir, sementara anak kambing bisa terjual Rp 700.000 per ekor.
“Setahun beranak dua kali. Semua untuk makan,” katanya.
Semua hasil itu dipakai untuk kebutuhan sehari-hari sekaligus membeli pakan bagi ternak mereka.
Sementara angsa bermanfaat untuk mengusir ular pemangsa bebek dan penghalau orang yang ingin masuk pekarangannya.
Pejabat di lingkungan istana
Dari pekerjaan sehari-hari itu, ia mengaku kehidupan dan penghasilannya terbatas.
Walau terbatas, ia berusaha tidak meminta apapun pada anak-anaknya yang telah mandiri dan berkeluarga.
Karena itu, ketika ada cucu yang meminta uang jajan, ia tidak meminta pada anak-anaknya. Ia bertekad mendapatkan uang lewat menjual delapan bebek ke pasar.
“Hanya mengurangi delapan (itik) untuk cucu. Kalau Mbah buyut ada (uang), minta sangu. Saya ngelongi (mengambil bebek). (Supaya) saya punya uang. Untuk cucu wajar,” kata Mardi.
Hari itu, ia memutuskan menjual delapan ekor bebek senilai Rp 400.000. Seorang pembeli, pria bertubuh besar, penampilan meyakinkan, membeli semua bebek yang ditawarkan.
Mardi sebenarnya sempat curiga pada gelagat si calon pembeli. Tapi penipu itu lebih lihai. Karena keterbatasan Mardi, ia akhirnya tetap jadi korban penipuan dengan uang palsu. Ia melapor ke petugas pasar lantas melaporkan kasus ini ke polisi. Uang palsu disita di polisi.
Mardi mengaku tidak menyesali kehilangan dagangannya. Ia ikhlas, pasrah dan tak perlu disesali.
“Barang kalau sudah tidak ada, tapi malah digetuni (disesali), malah bisa membuat sakit hati,” kata Mardi.
Berselang hampir empat bulan, kasusnya belum menunjukkan titik terang pelaku. Di tengah penantian tak pasti, sumbangan tiba.
Peristiwa yang menimpa Mbah Mardi ini menggugah hati seorang pejabat di lingkungan istana. Ia secara pribadi mengirimkan sumbangan pada Mardi melalui seorang warga di Kulon Progo, Sabtu (14/8/2021).
Tidak seperti sejumlah politisi, pejabat, hingga selebriti, yang mana saat menyumbang kental nuansa pencitraan belakangan ini.
Kali ini berbeda. Penyumbang Mbah Mardi tidak bersedia disebut namanya. Ia memberi atas dasar prihatin dan belas kasih.
“Hari gini masih ada orang yang tega dengan orang kecil dan tua seperti Mbah Mardi,” kata pejabat tersebut.